KONSTRUKSI MODERASI BERAGAMA DARI NEGERI SYARIAT
July 3, 2023Oleh; Muhajir Al-Fairusy
Tahun 2010, di sebuah ruangan kuliah pada Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada di Bulaksumur, yang telah berdiri sejak tahun 1973, saya pertama sekali bertemu dan bertatap wajah dengan dengan Prof. Irwan Abdullah. Di pusat studi ini pula karir Prof Irwan dimulai sejak tahun 1987. Pertemuan akademis dalam kuliah materialisme kebudayaan. Pertemuan itu sangat membekas, ia mengajar tanpa membosankan. Ruang kuliah dikonstuksi menjadi ruang transfer pengetahuan yang amat menyenangkan, ia bercerita banyak hal sembari menyisip teori antropologi di dalamnya. Namanya kesohor di Aceh, berkat David Kloos yang saya dampingi selama penelitian di Aceh sejak tahun 2009, saya mendengar profil Prof. Irwan Abdullah. Seorang Aceh yang berkibar di salah satu pusat pengetahuan terbaik di Indonesia, Univeristas Gadjah Mada. Ia antropolog, layaknya David Kloos. Dari rekomendasi DK pula selanjutnya saya bisa menikmati atmosfer pengetahuan di Universitas Gadjah Mada.
Prof Irwan Abdullah lahir di Aceh Utara pada tanggal 8 September 1963, ia berasal dari Matang Bireun, dan memiliki jaringan kekerabatan hingga ke pantai barat Aceh berdasar cerita geneologi yang kerap ia sampaikan. Pada tahun 2005 hingga 2009 ia menjabat Direktur Sekolah Pascasarjana UGM, ragam prestasi Sekolah Pascasarjana saat itu dipanen di bawah kepemimpinannya, dan ikut menginisiasi lahirnya CRCS, sebuat pusat studi yang selanjutnya menjadi program studi dengan peminat yang tinggi dari seluruh Indonesia. Prof Irwan menyelesaikan pendidikan dengan gelar Ph.D di bidang antropologi dari Universitiet van Asmterdam tahun 1994. Dari Alchaidar, seorang antropolog UNIMAL yang kini menjadi pengamat isu terorisme di Indonesia, yang saya temu di Singkil, ia bercerita bagaimana sosok Prof. Irwan Abdullah mulai berpengaruh sejak tahun 1990-an sebagai salah seorang antropolog Indonesia paling cemerlang.
Kiprah Prof Irwan dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya antropologi dan pengembangan akademik dirasakan oleh segenap scholar Indonesia, tak hanya sebatas lingkungan Bulaksumur dan Jogjakarta. Ia tak sungkan mengulurkan tangan membantu banyak scholar tercerahkan di bidang penelitian, dan “mengangkat” posisi banyak dosen di PTKI menjadi guru besar melalui lembaga IAS (Irwan Abdullah Scholarship) yang tak pernah henti mempublikasi ragam riset di ruang jurnal terindeks scopus. Usaha ini pulau yang membantu banyak dosen dan peneliti di Indonesia bisa meraih jabatan tinggi akademik. Ia bergerilya memberi ceramah penguatan penulisan dan klinik jurnal dari Aceh hingga ujung timur Indonesia. Tak pernah bosan, dan mengeluh. Demikian sosok Prof. Irwan Abdullah. Di usianya yang tak lagi muda, ia masih tampak energik, berdiskusi dan duduk berdekatan dengannya selalu memanen nilai dan pengetahuan, cara pandang dan bersikap. Sosoknya yang tenang, mudah bergaul dan memberi kelempangan dalam berpikir, menjadikannya sosok guru yang disenangi dan dihormati oleh seluruh muridnya di Indonesia.
Melalui bukunya yang diburu oleh banyak mahasiswa, seperti Sangkan Paran Gender (1997. 2003, 2006), Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (2006), Sex, Gender and Social Reproduction of Power (2001) dan beberapa buku berkualitas lainnya dengan sudut pandang antropologi, kian mengokohkan keberadaan Prof Irwan Abdullah dalam dunia pengetahuan dan studi antropologi di Indonesia. Buku-buku yang ditulis oleh Prof Irwan Abdullah dengan pendekatan antropologi, seperti materialisme kebudayaan, Foucault, dan beberapa teori besar lainnya kerap dikaitkan dengan beberapa peristiwa sosial dan kebudayaan di Indonesia. Kondisi ini, memudahkan pembaca masuk dan menyelam dalam arena antropologi dan cara pandang kebudayaan.
Dua tahun lalu, Prof Irwan Abdullah masuk dalam daftar ilmuwan sosial berpengaruh di dunia. Posisi ini, kian memberi sinyal jika perannya amat penting dalam mengokohkan keberadaan ilmu pengetahuan dan mengembangkan atmosfer akademik. Tahun 2016, saat memulai studi doktoral antropologi di UGM, saya merasakan langsung bagaimana cara Prof Irwan mendidik dan membimbing para muridnya. Ia tak sekedar mendidik akademik, tapi juga spiritual bimbingannya. Ia melatih kesabaran sembari ketajaman berpikir anak didiknya melihat setiap peristiwa sosial dengan sudut pandang penelitian yang runut dan tersistematis. Bagi Prof Irwan, mendidik anak manusia yang serius ingin belajar lebih penting dibanding yang merasa diri sudah menjadi pembelajar. Prof Irwan memperlakukan muridnya begitu dekat, banyak murinya merasakan kehadiran sosok guru yang betul-betul mengayomi saat bersamanya. Tak sedikit para akademisi dari Aceh, tiba di Jogjakarta dimuliakan dan diistimewakan olehnya. Demikianlah sikap Prof Irwan memperlakukan scholar, ia sering mengingatkan, pentingnya berjalan bersama tak sendiri dan tunggal, apalagi membuat orkestra akademik tunggal dalam membangun budaya akademik. Akademik perlu dibangun secara kolektif terangnya.
Peran penting Prof Irwan bagi Nusantara adalah sumbangan pikiran bagi kebudayaan Indonesia dan Aceh tempat kelahirannya. Pandangan-pandangan kritis dan konstruktif bagi Aceh yang dinilai telah meredup peradaban olehnya kerap ia suarakan dalam banyak seminar. Dalam sebuah makalah PKA tahun 2018, Ia mengurai panjang lebar tentang meredupnya Aceh dalam kancah peradaban nasional yang dimaknai lewat tema memudarnya sebuah tradisi besar; kegagalan transformasi agrarit dan kemaritiman di Aceh. Kalimat pembuka bak cemeti bagi Aceh yang ia sebut jika peradaban Aceh yang diceritakan oleh Ibnu Batutah layaknya sebuah dongeng. Ia menyorot kegagalan Aceh tampil di kancah peradaban nasional akibat kegagalan transformasi kebudayaan yang terjadi di Aceh. Aceh telah didudukkan sebagai daerah papan bawah dari 35 provinsi di Indonesia, dan tata Kelola pemerintahan yang masih buruk. Aceh mengalami disrupsi besar dari peradaban masa lalu terang Prof Irwan Abdullah. Sudah saatnya Pemerintah Aceh dan segenap masyarakat mengurai dan menimbang amatan paling fundamental bagi pembangunan Aceh ke depan dari guru besar antropologi UGM ini.
Hari ini, tepat 8 Oktober 2022, guru kami Prof Irwan Abdullah memperingati ulang tahun ke-59. Usia yang akan memasuki titik puncak dalam lingkaran kehidupan manusia. Tapi, gaung Prof Irwan tak pernah lamban dan menua, ia terus bergeriliya mewarnai peradaban Nusantara. Ia bak kande, alat penerang dari Aceh yang menyerupai suluh, ia penerang bagi segenap para pembelajar di Indonesia. Selamat Ulang Tahun guru kami Prof Irwan Abdullah. Kande Aceh bagi Kebudayaan dan Peradaban Akademik Nusantara.